Jargon Masa Lalu oleh Bondan Winarno
Tuesday, June 30, 2009
Kejadian-kejadian yang berlangsung begitu cepat minggu lalu telah membuktikan satu hal: bahwa sesuatu yang besar tidak boleh mengabaikan hal-hal kecil yang secara akumulatif bisa menumbangkannya. Sebatang pohon yang besar--misalnya: beringin--bila ditakik sedikit demi sedikit di pangkalnya, pada suatu ketika akan roboh. Atau seperti syair Rendra, batu besar yang hancur karena butir-butir air yang konsisten menetesinya.
Pemerintahan Presiden Habibie yang sekarang ini pun mau tak mau harus segera berhadapan dengan rincian-rincian kecil yang tampaknya terabaikan. Maklum, dalam waktu yang sedemikian sempit, kegugupan dan demam panggung bagi debutan tentulah masih menjadi kendala utama. Contoh: penamaan kabinet baru dengan nama Kabinet Reformasi Pembangunan. Mengapa masih memakai nama 'pembangunan' ? Bukankah 'pembangunan' adalah jargon masa lalu? Bukankah penggunaan istilah 'pembangunan'mengesankan adanya carry over dari pemerintahan yang telah ditumbangkan?
Kalaupun kita masih akan melakukan pembangunan di masa dekat ini, persisnya yang akan dilakukan bangsa ini adalah development recovery alias upaya pemulihan. Dan untuk memberi label bagi kegiatan seperti itu cukup banyak istilah yang bisa dipilih guna menghindari istilah 'pembangunan' yang sudah passe. Revitalisasi, kek. Kebangkitan Ulang, kek. Ahli komunikasi dan ahli bahasa perlu dilibatkan untuk ikut memikirkan istilah baru yang bisa langsung populer.
Begitu juga penggunaan istilah 'reformasi'. Sekalipun ini adalah istilah yang paling trendi saat ini, dia suda dikooptasi oleh kekuasaan. Pada akhir masa kepresidenannya, Pak Harto masih menyatakan niatnya untuk membentuk Komitte Reformasi dan Kabinet Reformasi. Jadi, jangan salahkan mahasiswa bila mereka mengibrkan spanduk yang bertuliskan "Soeharto-Habibie adalah Satu Paket". Istilah-istilah yang dipakai Pak Habibie belum memberikan kesan tentang adanya jarak antara Pemerintah Orde Baru dan "Pemerintah Reformasi."
Jargon masa lalu masih amat sangat kental mewarnai penamaan elemen-elemen kabinet. Contoh: menteri tenaga kerja. Bukankah istilah 'tenaga kerja' adalah jargon tahun 1960-an? Di masa kini, jargon yang dianggap politically correct adalah 'sumber daya manusia'. Nah, kenapa istilah usang itu masih saja menempel kayak prangko pada kabinet kita? Anehnya, menterinya sendiri kok tega memberi nama usang itu bagi departemennya. Direformasi, juga dong.
Struktur kabinet dengan memakiai menteri koordinator segala itu juga memberikan gambaran betapa tak berubahnya kabinet masa kini dengan kabinet masa lalu. Hanya namanya saja 'reformasi', tapi ruh reformasi itu sendiri gagal hadir dalam penampilan kabinet baru. A change without a change.
Tentu saja tidak hanya nuansa buruk yang dicuatkan oleh kabinet baru ini. Beberapa nama baru, khususnya di jajaran Ekuin (yah, nama lama lagi!), mencitrakan kabinet yang lebih baik daripada sebelumnya. Menteri Keuangan dari Universitas Indonesia, yang kesohor karena pikiran-pikiran makroekonominya, cocok sekali dengan Menteri Perencanaan Nasional dari Universitas Gajah Mada--yang dikenal karena pikiran-pikirannya yang populis. Dibawah koordinasi Pak Ginanjar yang makin kokoh jejaringnya dengan lembaga-lembaga internasional, tampaknya janji untuk mengembalikan Indonesia ke alur pertumbuhan tidaklah terlalu muluk. (Kontan, 1 Juni 1998)
0 comments:
Post a Comment