Tangis Pilu Seorang Penumpang Perahu oleh Muhammad Iqbal
Sunday, May 31, 2009
Kami sama-sama ditolak oleh kehidupan dan kematian, aduh!
Hujatan yang mereka tunjukkan.
Kami menyeberangi dunia Timur dan Barat,
hingga akhirnya dalam kedahsyatan kepedihan kami mencapai pintu neraka.
Tetapi menolak memercikkan sejumput apinya untuk kami,
bahkan debunya sekalipun buat dahi kami tidak dia tiupkan.
Dia berkata,'Aku lebih baik membakar debu dan sampah daripada membiarkan kedua pecundang ini mengotori api suciku.'
Kami melintasi sembilan cakrawala--demi mencari kematian--yang berkata,'Aku menguasai misteri kehidupan: tugasku adalah melayani jiwa, hanya daging saja yang aku tolak.
Harga jiwa yang buruk tidak sebanding dengan dua biji gandum, aku tidak dapat melakukan sesuatupun terhadap jiwa dungu ini.
Pergilah wahai engkau yang terbelenggu dalam kesia-sian dan tidak terbebas dari jiwamu sendiri, karena bagi pecundang tiadalah minyak dalam kematian.'
O prahara! O laut darah! O bumi! O langit biru! O bintang=bintang! O matahari dan bulan! O obat penyelamat! O Pena Ilahi! O Kitab Suci! O bayangan putig! O Tuhan Barat yang memegang dunia dalam genggaman tanpa peperangan.
Dunia ini tiada awal dan akhir, dimanakah dapat ditemukan tuhan bagi pecundang?
Seketika menggema suara yang membelah lautan dan menghancurkan dunia seisinya: bukit-bukit terbang berserakan.
Laksana awan gunung-gunung terbang di angkasa.
Semua gumpalan tanah berserakan, dunia hancur tanpa tiupan sangkakala kiamat.
Baik petir maupun kilat mencari perlindungan dibawah lautan darah.
Gelombang naik turun menggulung-gulung, menyapu habis bukit dan lembah.
Apapun yang terjadi pada makhluk yang terlihat maupun yang tidak terlihat, bintang-bintang hanya memandang terbang menjauh.
0 comments:
Post a Comment